Tari Serimpi Sangopati
Sekarang, segala sesuatu telah berkembang dengan cepat dan mudah. Sesuatu hal yang menjadi kebiasaan di masa lampau telah banyak ditinggalkan mungkin karena dianggap kuno. Padahal tanpa kita sadari, sesuatu yang telah kita tinggalkan tersebut adalah sesuatu yang sangat berharga di masa lampau dan justru dapat dijadikan sebagai sebuah kebanggaan saat ini. Semakin lama, justru semakin luntur dan mungkin mereka akan menghilang.
Sebuah tarian, sebuah warisan yang sedikit terkikis dengan adanya perkembangan yang begitu hebat. Yogyakarta mempunyai tarian yang berharga di masa lampau, tetapi sekarang tidak banyak generasi muda yang melestarikan budaya tari dan bahkan mengetahui tentang tarian yang ada. Salah satu jenis tarian yang ada di Yogyakarta adalah tari Serimpi. Tarian ini diiringi oleh gamelan Jawa dengan gerakan tangan yang lambat dan gemulai. Menilik dari namanya, Serimpi bersinonimkan bilang empat. Oleh karena itu, tari Serimpi kebanyakan ditarikan oleh penari dengan jumlah empat orang. Yang melambangkan empat penjuru mata angi atau unsur dari dunia. Yakni grama (api), angin (udara), toya (air), dan bumi (tanah). Seiring berjalannya waktu, tari Serimpi juga terbagi menjadi beberapa jenis, salah satunya tari Serimpi Sangopati.
Tarian Serimpi Sangopati ini, sebenarnya merupakan tarian karya Pakubuwono IV yang memerintah Kraton Surakarta Hadiningrat pada tahun 1788-1820 dengan nama Serimpi sangapati, kata sangapati itu sendiri berasal dari kata “sang apati” sebuah sebutan bagi calon pengganti raja. Ketika Pakubuwono IX memerintah kraton Surakarta Hadiningrat pada tahun 1861-1893, beliau berkenaan merubah nama Sangapati menjadi Sangopati.
Ketika itu, sesungguhnya sajian tarian Serimpi tersebut tidak hanya dijadikan sebagai sebuah hiburan semata, akan tetapi sesungguhnya sajian tersebut dimaksudkan sebagai bekal bagi kematian Belanda, karena kata sangopati itu berarti bekal untuk mati. Hal ini dilakukan berkaitan dengan suatu peristiwa yang terjadi di masa pemerintahan beliau yaitu pemerintah Kolonial Belanda memaksa kepada Pakubuwono IX agar mau menyerahkan tanah pesisir pulau Jawa kepada Belanda. Disaat pertemuan perundingan masalah tersebut Pakubuwono IX menjamu para tamu Belanda dengan pertunjukan tarian Serimpi Sangopati. Oleh sebab itu pistol-pistol yang dipakai untuk menari sesungguhnya diisi dengan peluru yang sebenarnya. Ini dimaksudkan apabila kegagalan, maka para penaripun telah siap mengorbankan jiwanya. Maka ini tampak jelas dalam pemakaian “sampir” warna putih yang berarti kesucian dan ketulusan.Pakubuwono IX yang terkenal sebagai raja pemberani dalam menentang pemerintahan Kolonial Belanda sebagai penguasa wilayah Indonesia ketika itu.
Oleh : S. Yogi Pradityo
No comments:
Post a Comment