OPEN

TERIMAKASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA & TINGGALKAN CATATAN KECIL UNTUK KAMI

Thursday, May 20, 2010

Pusatnya YOGYAKARTA


TUGU - Biasa disebut sebagai pusatnya kota Yogyakarta. Tidak hanya sebagai pusat garis lurus antara gunung Merapi, Keraton Yogyakarta, dan Kerajaan Pantai Selatan. Tapi memang juga sebagai pusat perhatian wisatawan.

Bangunan yang berdiri menantang ini berada di tengah smpang empat antara jl. MAngkubumi, jl. Diponegoro dan jl. AM Sangaji. Gemerlap saat malam hari.

Diperkirakan Tugu ini memang benar-benar berada pada titik pusat garis lurus Utara dan Selatan. Yang bila ditarik garis lurus akan mengait puncak Gunung Merapi - Keraton Yogyakarta - Kerajaan Nyi Roro Kidul di pantai Selatan.

Kearah Utara lurus akan tepat menuju puncak Merapi. Kearah Selatan akan persis mencapai pantai Parang Tritis. Kearah Barat akan sampai Godean. Dan jauh tepat di Barat hingga Keraton Surakarta, Solo.

Pada 2 alun-alun kota Yogyakarta yang terletak di utara dan selatan keraton, memiliki 2 buah beringin raksasa tiap alun-alunnya. Pada tiap alun-alun terpasang 2 beringin itu berjajar barat-timur. Dan bila Tugu ditarik keselatan, garisnya akan tepat melewati tengah-tengah kedua pasangan pohon beringin ini.

Disebut sebagai pusat kota pelajar ini juga karena memang sangat sering dikunjungi manusia-manusia gila foto diri. Paling tidak 5 tahun terakhir ini Tugu menjadi tempat ajang berjepret ria oleh banyak orang. Bergaya di lingkarannya, dan kemudian terdokumentasilah kegiatan mereka di kamera masing-masing.

Setiap malam tidak kurang dari 50 orang berdatangan slih berganti untuk mengabadikan diri mereka di depan bangunan megah perkasa milik kota Gudeg ini. Dan tidak hanya memotret, mereka juga sekedar mengobrol bersama kawan dan sanak saudara.

Beberapa kali peremajaan Tugu dilakukan. Ini dimaksudkan untuk menarik minat wisatawan untuk hadir menyaksikan peninggalan Sri Sultan HB IX. Dan saat ini sudah tercatat empat kali renovasi dan medofikasi yang dilakukan pemkot setempat.

Ada pepatah baru di tahun milenium ini, "Jangan bilang pernah ke Jogja kalau anda tidak punya foto diri di Tugu Jogja". Penasaran dengan kemolekannya? Silahkan segera daftarkan Tugu di list trip anda selanjutnya.



Oleh : Damian Risandra
Foto : Damian Risandra

Cerdas ala Efek Rumah Kaca


Band indie dari Jakarta yang mendokumentasikan setiap momen kehidupan sehari-hari.

Efek Rumah Kaca berbicara tentang konsumerisme di "Belanja Terus Sampai Mati", fotografi di "Kamar Gelap", politik pada "" Jalang, "Di Udara", “Jangan Bakar Buku", lingkungan di "Efek Rumah Kaca" dan 'Hujan Jangan Marah " , psikologi pada "Melankolia" dan "Insomnia", industri musik di "Cinta Melulu", dan banyak lagi.

Dibentuk pada tahun 2001, Efek Rumah Kaca adalah musik dipengaruhi oleh banyak sekali musisi atau band dari berbagai genre dan era, Jon Anderson, Sting dan The Police, The Smiths, Radiohead, The Smashing Pumpkins, dan banyak lagi. Banyak yang menyebutkan bahwa warna musik Efek Rumah Kaca tergolong dalam post-rock, bahkan adapula yang menyebutkan shoegaze sebagai warna musik mereka. Tetapi, Efek Rumah Kaca adalah pop, karena mereka tidak mengunakan banyak distorsi dalam lagu-lagu mereka seperti selayaknya musik rock.

"Cinta Melulu", sebuah cerminan industri musik Indonesia yang didominasi oleh lagu-lagu cinta dengan musik stereotip, menjadi hit besar di Indonesia. Lagu tersebut membawa Efek Rumah Kaca ke jalan, tur ke kota-kota di Indonesia dan meraih berbagai penghargaan. "Cinta Melulu" diberikan Song "Indonesian Best of 2008" oleh radio bergengsi di Indonesia.

Efek Rumah Kaca layak disebut sebagai sebuah band indie terbaik saat ini, media-media musik menjulukinya sebagai ”band yang cerdas”, ”sesuatu yang berkualitas sekaligus ’menjual’”, atau bahkan ”penyelamat musik Indonesia”. Desember 2008 Efek Runah Kaca merilis album kedua mereka, "Kamar Gelap". Dalam dua minggu saja, beredar nasional, album ini telah terjual lebih dari 3000 eksemplar.

Efek Rumah Kaca adalah Cholil (vokal / gitar), Adrian (bass, vokal latar), dan Akbar (drum / vokal latar)



Oleh: S. Yogi Pradityo

Sunday, May 9, 2010

Timang, surganya nelayan lobster

Perjalanan 3 jam dari Jogja, melewati jalan yang meliuk-liuk serta menerbas perbukitan. Menerjang jalan bebatuan, melunjak tampak karang besar di tengah laut.

Ya itu lah sedikit gambaran yang bisa dikata-katakan untuk sebuah nama "Timang". Timang sendiri adalah nama daerah di pesisir pantai selatan, tepatnya di Gunung Kidul selatan kota Wonosari.

Timang masih segaris dengan pantai-pantai selatan Gunung Kidul lainnya, seperti Sundak Drini Baron Kukup dan Krakal. Tepat berada di sebelah timur pantai sundak, dengan berjalan sekitar 15 menit.

Yang indah dari Timang bukanlah pantainya, melainkan pemandangan pesona alam yang jarang ditemui di sepanjang pantai selatan Jawa. Kita akan berada di atas puncak gunung batu, dan menghadap ke selatan akan tampak karang besar yang terpisah lautannya berjarak 100m dari bibir gunung batu.

Setiap harinya tempat ini digunakan oleh orang-orang untuk mencari lobster. Kata mereka (para pencari lobster), disini hasilnya besar-besar dan berisi. Mudah untuk mendapatkannya. Mereka akan berada di tengah-tengah antara gunung batu dengan karang, yang disambung dengan sebuah jembatan gantung sangat sederhana. Dioperasikan manual oleh manusia.

Di kanan kiri gunung batu ini ada 2 pantai yang juga pasir putih. Cukup sepi, tidak banyak pengunjung. Sebenarnya dua pantai ini tidak kalah indah dari pantai lain. Tapi mungkin menjadi tidak terekspose karena untuk menuju kemari sangat sulit medan jalannya.

Tidak akan kecewa bila anda adalah pecinta pesona keindahan alam. Segera mencoba untuk menikmatinya...


Oleh : Damian Risandra

Kenali dan Cintai

Tari Serimpi Sangopati
Sekarang, segala sesuatu telah berkembang dengan cepat dan mudah. Sesuatu hal yang menjadi kebiasaan di masa lampau telah banyak ditinggalkan mungkin karena dianggap kuno. Padahal tanpa kita sadari, sesuatu yang telah kita tinggalkan tersebut adalah sesuatu yang sangat berharga di masa lampau dan justru dapat dijadikan sebagai sebuah kebanggaan saat ini. Semakin lama, justru semakin luntur dan mungkin mereka akan menghilang.

Sebuah tarian, sebuah warisan yang sedikit terkikis dengan adanya perkembangan yang begitu hebat. Yogyakarta mempunyai tarian yang berharga di masa lampau, tetapi sekarang tidak banyak generasi muda yang melestarikan budaya tari dan bahkan mengetahui tentang tarian yang ada. Salah satu jenis tarian yang ada di Yogyakarta adalah tari Serimpi. Tarian ini diiringi oleh gamelan Jawa dengan gerakan tangan yang lambat dan gemulai. Menilik dari namanya, Serimpi bersinonimkan bilang empat. Oleh karena itu, tari Serimpi kebanyakan ditarikan oleh penari dengan jumlah empat orang. Yang melambangkan empat penjuru mata angi atau unsur dari dunia. Yakni grama (api), angin (udara), toya (air), dan bumi (tanah). Seiring berjalannya waktu, tari Serimpi juga terbagi menjadi beberapa jenis, salah satunya tari Serimpi Sangopati.

Tarian Serimpi Sangopati ini, sebenarnya merupakan tarian karya Pakubuwono IV yang memerintah Kraton Surakarta Hadiningrat pada tahun 1788-1820 dengan nama Serimpi sangapati, kata sangapati itu sendiri berasal dari kata “sang apati” sebuah sebutan bagi calon pengganti raja. Ketika Pakubuwono IX memerintah kraton Surakarta Hadiningrat pada tahun 1861-1893, beliau berkenaan merubah nama Sangapati menjadi Sangopati.

Ketika itu, sesungguhnya sajian tarian Serimpi tersebut tidak hanya dijadikan sebagai sebuah hiburan semata, akan tetapi sesungguhnya sajian tersebut dimaksudkan sebagai bekal bagi kematian Belanda, karena kata sangopati itu berarti bekal untuk mati. Hal ini dilakukan berkaitan dengan suatu peristiwa yang terjadi di masa pemerintahan beliau yaitu pemerintah Kolonial Belanda memaksa kepada Pakubuwono IX agar mau menyerahkan tanah pesisir pulau Jawa kepada Belanda. Disaat pertemuan perundingan masalah tersebut Pakubuwono IX menjamu para tamu Belanda dengan pertunjukan tarian Serimpi Sangopati. Oleh sebab itu pistol-pistol yang dipakai untuk menari sesungguhnya diisi dengan peluru yang sebenarnya. Ini dimaksudkan apabila kegagalan, maka para penaripun telah siap mengorbankan jiwanya. Maka ini tampak jelas dalam pemakaian “sampir” warna putih yang berarti kesucian dan ketulusan.Pakubuwono IX yang terkenal sebagai raja pemberani dalam menentang pemerintahan Kolonial Belanda sebagai penguasa wilayah Indonesia ketika itu.


Oleh : S. Yogi Pradityo