OPEN

TERIMAKASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA & TINGGALKAN CATATAN KECIL UNTUK KAMI

Saturday, November 6, 2010

Merapi, tahun 2010

YOGYA - Sudah hampir 2 minggu warga lereng Merapi serta banyak dari kabuparen Sleman, Magelang, dan Boyolali dipontang-panting oleh bencana dasyat. Tradisi gunung ini setiap tahunnya bereruspi menarik perhatian cukup besar. Yang dirasa tahun ini (4-5 Nov 2010) erupsi paling besar dalam kurun waktu 100 tahun terakhir membuat ratusan ribu manusia khawatir akan keadaan esok hari.

Tidak hanya sekitar Merapi, bahkan di Puncak Bogor juga merasakan efek dari erupsi ini. Abu vulkanis terbang hingga Jawa Barat.

Merikut beberapa gambar selama erupsi pertama tahun ini hingga saat ini...





Erupsi pada hari Senin 1-11-2010
dirasakan sangat besar
karena Boyolali hujan abu lebat






Ini debu vulkanik yang masih tersebar di wilayah Jogja
karena hujan abu bercampur pasir semalam (4-11-2010)
Di Simpang 4 ringroad jl.Magelang




Pagi ini kondisi merapi masih berbahaya
Semburan awan panas diperkirakaan
setinggi 3km membunmung tinggi
diatas merapi



Oleh : DAMIAN RISANDRA
Foto : Damian Risandra


Awan Tebal Setinggi Gunung di atas Merapi

YOGYAKARTA- Tampak awan tebal membubung tinggi hingga sama tinggi dengan gunung Merapi itu sendiri. Pemandangan ini tampak Sabtu (6/11) pukul 05.00 sesaat setelah luncuran awan pijar dan suara dentuman yang terdengar hingga radius 15 kilometer.

Walau begitu, kondisi itu sudah lebih baik karena beberapa menit sebelumnya signal ponsel putus-putus terganggu oleh aktivitas Merapi.

Jalan Kaliurang pagi ini masih sepi hanya beberapa kendaraan yang melintas turun dari arah Merapi. Mobil mobil itu adalah tim evakuasi.

Beberapa Brimob dan polantas tetap menutup akses jalan dari Yogyakarta menuju Merapi.

Baru saja ada tiga orang yang memaksa naik ke Merapi dengan alasan akan memberi pakan ternak dan melihat kondisi di dusunnya.

Polisi yang berjaga melarang warga yang naik sepeda motor itu tapi terus ngotot dan mengatakan bahwa keperluannya sangat mendesak tak bisa ditunda.

Karena terus ngotot dan bersikeras, akhirnya tiga warga itu berhasil menerobos jalan Kaliurang untuk naik ke dusun mereka yang berada di radius berbahaya.

Hingga pagi ini debu abu masih mengotori jalan Kaliurang walau sudah ada hujan yang membawa abu itu menjadi lumpur. *


Source : Tribunnews.com
Foto : Damian Risandra

Saturday, September 4, 2010

"SEKUMPULAN REKAMAN YANG TAK BERGERAK DARI 2010"

Suasana kemeriahaan saat malam takbir di Jl. Brigjend Katamso, Yogyakarta. Pawai ini diikuti oleh berbagai lapisan masyarakat dari berbagai daerah

Ribuan warga Yogyakarta mendengarkan ceramah setelah mengikuti Sholat Ied yang digelar di alon-alon utara

TOLONG FOTO SAYA, AYAH
Setelah selesai menjalankan Sholat Ied, tampak duduk bersantai seorang ayah dan anak untuk berfoto di alon-alon utara, Yogyakarta

PENIKMAT FAJAR
Pedagang nasi kuning yang memulai aktifitas sejak dini hari di sekitar pasar Kranggan, Yogyakarta

SEADANYA
Lokomotif tua dengan gerbong pengangkut barang yang melintas di sebuah rel stasiun Lempuyangan, Yogyakarta

NEXT TRICK
Salah satu penampilan peserta "game of skate" dalam perayaan skate day 21 Juni

SENDRATARI MAHAKARYA BOROBUDUR
Pertunjukan Sendratari Mahakarya Borobudur yang dimainkan oleh seniman-seniman tari dari beberapa sekolah seni


OVERLOAD PEDICAB
Becak dengan muatan yang tidak sewajarnya melintas di kawasan malioboro

LINTASAN REZEKI CANGKRINGAN
Salah satu lokasi penambangan yang cukup digemari oleh para penambang pasir
dan masih bertahan hingga saat ini

Pasukan "marching" dari kraton yang ikut meramaikan pembukaan FKY 2010





"SEKUMPULAN REKAMAN YANG TAK BERGERAK DARI 2010"
Oleh St.Yogipradityo

Monday, June 14, 2010

Kecil dan Terkucil


Di tengah kampung dan sedikit terkucilkan, sebuah bangunan yang memiliki ukuran 5,25 x 5,25 m dengan tinggi 7,75. Secara administrasi Candi Gebang terletak di desa Gebang, Kalurahan Wedomartani, Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Sleman. Sedangkan secara astronomis, bangunan Candi Gebang berada pada 110˚ 24’ 53.62”BT dan 07˚ 45’ 04.01”LS.

Pada bulan November 1936 seorang penduduk desa sedang menggali tanah untuk mencari batu untuk bahan bangunan, tetepi cangkulnya justru menemukan sebuah arca batu yakni arca Ganesha. Penemuan ini kemudian ditindak lanjuti oleh Dinas Purbakala dengan melakukan sebuah ekskavasi arkeologi. Dari penggalian ini diketahui bahwa di lokasi temuan arca Ganesha tersebut ternyata terdapat sisa sebuah bangunan candi yang telah runtuh dan terpendam tanah. Selain temuan berupa bangunan juga ditemukan sejumlah artefak-artefak lain. Diantaranya adalah wadah gerabah, kotak batu berlubang (peripih), lingga serta sejumlah arca dewa.

Candi Gebang merupakan candi bercorak Hindu. Bangunan candi menghadap ke arah timur dengan satu bilik tanpa tangga masuk. Di dalam bilik tersebut terdapat sebuah Yoni. Di sisi kanan pintu masuk terdapat arca Nandiswara. Nandiswara adalah dewa penjaga arah mata angin. Ia sering dijumpai dengan Mahakala. Untuk arca Mahakala di Candi Gebang seharusnya berada di sisi kiri pintu masuk tetapi arca ini telah hilang semenjak candi ditemukan. Penamaan candi yang ditemukan pada tahun 1936 ini didasarkan pada lokasi candi itu berada, yakni di desa gebang. Penamaan sebuah candi selain dari keberadaannya, candi juga bisa dinamai berdasar legenda yang dikenal oleh masyarakat atau juga didasarkan pada penyebutan dari sebuah prasasti. Pada saat pertama kali ditemukan, candi gebang dalam kondisi runtuh total hanya tersisa bagian kaki. Tampak jika candi gebang juga tertimbun endapan lahar merapi. Di wilayah yk cukup banyak ditemukan bangunan candi yang tertimbun oleh endapan vulkanik, diantaranya candi kedulan, candi sambisari, candi kadisoka, serta candi morangan. Masa pendirian candi gebang belum bisa diketahui dengan pasti. Hanya berdasar ciri arsitekturnya, agaknya candi gebang didirikan dari periode yang tua, yakni sekitar tahun ± 730 hingga 800 Masehi.

Ciri arsitektur tersebut tampak pada relief kepala manusia di bagian atap candi yang seolah-olah melongok dari sebuah jendela. Ciri semacam ini dinamakan dengan kudu. Relief kudu juga dijumpai pada candi bima di kompleks percandian dieng.

Sebagai upaya pelestarian peninggalan sejarah dan budaya, maka di tahun 1937 hingga 1939 Candi Gebang dilakukan pemugaran oleh Dinas Purbakala ( Oudheid Dienst ) yang dipimpin oleh Prof.DR.Van Romondt. Pada bulan November 1989 kepala arca Nandiswara telah dicuri. Hingga saat ini masih belum ditemukan. Setelah selesai dipugar tahun 1940, terlihat bahwa sejumlah arca pengisi relung pada tubuh bangunan kosong yakni di relung candi sisi utara dan selatan. Hanya di sisi barat saja yang berisi arca Ganesha yang duduk di atas lapik berbentuk Yoni. Ganesha merupakan dewa penghilang segala marabahaya.


Oleh : S. Yogi Pradityo

(sumber : Balai informasi candi gebang)

Foto : S. yogi Pradityo

Thursday, May 20, 2010

Pusatnya YOGYAKARTA


TUGU - Biasa disebut sebagai pusatnya kota Yogyakarta. Tidak hanya sebagai pusat garis lurus antara gunung Merapi, Keraton Yogyakarta, dan Kerajaan Pantai Selatan. Tapi memang juga sebagai pusat perhatian wisatawan.

Bangunan yang berdiri menantang ini berada di tengah smpang empat antara jl. MAngkubumi, jl. Diponegoro dan jl. AM Sangaji. Gemerlap saat malam hari.

Diperkirakan Tugu ini memang benar-benar berada pada titik pusat garis lurus Utara dan Selatan. Yang bila ditarik garis lurus akan mengait puncak Gunung Merapi - Keraton Yogyakarta - Kerajaan Nyi Roro Kidul di pantai Selatan.

Kearah Utara lurus akan tepat menuju puncak Merapi. Kearah Selatan akan persis mencapai pantai Parang Tritis. Kearah Barat akan sampai Godean. Dan jauh tepat di Barat hingga Keraton Surakarta, Solo.

Pada 2 alun-alun kota Yogyakarta yang terletak di utara dan selatan keraton, memiliki 2 buah beringin raksasa tiap alun-alunnya. Pada tiap alun-alun terpasang 2 beringin itu berjajar barat-timur. Dan bila Tugu ditarik keselatan, garisnya akan tepat melewati tengah-tengah kedua pasangan pohon beringin ini.

Disebut sebagai pusat kota pelajar ini juga karena memang sangat sering dikunjungi manusia-manusia gila foto diri. Paling tidak 5 tahun terakhir ini Tugu menjadi tempat ajang berjepret ria oleh banyak orang. Bergaya di lingkarannya, dan kemudian terdokumentasilah kegiatan mereka di kamera masing-masing.

Setiap malam tidak kurang dari 50 orang berdatangan slih berganti untuk mengabadikan diri mereka di depan bangunan megah perkasa milik kota Gudeg ini. Dan tidak hanya memotret, mereka juga sekedar mengobrol bersama kawan dan sanak saudara.

Beberapa kali peremajaan Tugu dilakukan. Ini dimaksudkan untuk menarik minat wisatawan untuk hadir menyaksikan peninggalan Sri Sultan HB IX. Dan saat ini sudah tercatat empat kali renovasi dan medofikasi yang dilakukan pemkot setempat.

Ada pepatah baru di tahun milenium ini, "Jangan bilang pernah ke Jogja kalau anda tidak punya foto diri di Tugu Jogja". Penasaran dengan kemolekannya? Silahkan segera daftarkan Tugu di list trip anda selanjutnya.



Oleh : Damian Risandra
Foto : Damian Risandra

Cerdas ala Efek Rumah Kaca


Band indie dari Jakarta yang mendokumentasikan setiap momen kehidupan sehari-hari.

Efek Rumah Kaca berbicara tentang konsumerisme di "Belanja Terus Sampai Mati", fotografi di "Kamar Gelap", politik pada "" Jalang, "Di Udara", “Jangan Bakar Buku", lingkungan di "Efek Rumah Kaca" dan 'Hujan Jangan Marah " , psikologi pada "Melankolia" dan "Insomnia", industri musik di "Cinta Melulu", dan banyak lagi.

Dibentuk pada tahun 2001, Efek Rumah Kaca adalah musik dipengaruhi oleh banyak sekali musisi atau band dari berbagai genre dan era, Jon Anderson, Sting dan The Police, The Smiths, Radiohead, The Smashing Pumpkins, dan banyak lagi. Banyak yang menyebutkan bahwa warna musik Efek Rumah Kaca tergolong dalam post-rock, bahkan adapula yang menyebutkan shoegaze sebagai warna musik mereka. Tetapi, Efek Rumah Kaca adalah pop, karena mereka tidak mengunakan banyak distorsi dalam lagu-lagu mereka seperti selayaknya musik rock.

"Cinta Melulu", sebuah cerminan industri musik Indonesia yang didominasi oleh lagu-lagu cinta dengan musik stereotip, menjadi hit besar di Indonesia. Lagu tersebut membawa Efek Rumah Kaca ke jalan, tur ke kota-kota di Indonesia dan meraih berbagai penghargaan. "Cinta Melulu" diberikan Song "Indonesian Best of 2008" oleh radio bergengsi di Indonesia.

Efek Rumah Kaca layak disebut sebagai sebuah band indie terbaik saat ini, media-media musik menjulukinya sebagai ”band yang cerdas”, ”sesuatu yang berkualitas sekaligus ’menjual’”, atau bahkan ”penyelamat musik Indonesia”. Desember 2008 Efek Runah Kaca merilis album kedua mereka, "Kamar Gelap". Dalam dua minggu saja, beredar nasional, album ini telah terjual lebih dari 3000 eksemplar.

Efek Rumah Kaca adalah Cholil (vokal / gitar), Adrian (bass, vokal latar), dan Akbar (drum / vokal latar)



Oleh: S. Yogi Pradityo

Sunday, May 9, 2010

Timang, surganya nelayan lobster

Perjalanan 3 jam dari Jogja, melewati jalan yang meliuk-liuk serta menerbas perbukitan. Menerjang jalan bebatuan, melunjak tampak karang besar di tengah laut.

Ya itu lah sedikit gambaran yang bisa dikata-katakan untuk sebuah nama "Timang". Timang sendiri adalah nama daerah di pesisir pantai selatan, tepatnya di Gunung Kidul selatan kota Wonosari.

Timang masih segaris dengan pantai-pantai selatan Gunung Kidul lainnya, seperti Sundak Drini Baron Kukup dan Krakal. Tepat berada di sebelah timur pantai sundak, dengan berjalan sekitar 15 menit.

Yang indah dari Timang bukanlah pantainya, melainkan pemandangan pesona alam yang jarang ditemui di sepanjang pantai selatan Jawa. Kita akan berada di atas puncak gunung batu, dan menghadap ke selatan akan tampak karang besar yang terpisah lautannya berjarak 100m dari bibir gunung batu.

Setiap harinya tempat ini digunakan oleh orang-orang untuk mencari lobster. Kata mereka (para pencari lobster), disini hasilnya besar-besar dan berisi. Mudah untuk mendapatkannya. Mereka akan berada di tengah-tengah antara gunung batu dengan karang, yang disambung dengan sebuah jembatan gantung sangat sederhana. Dioperasikan manual oleh manusia.

Di kanan kiri gunung batu ini ada 2 pantai yang juga pasir putih. Cukup sepi, tidak banyak pengunjung. Sebenarnya dua pantai ini tidak kalah indah dari pantai lain. Tapi mungkin menjadi tidak terekspose karena untuk menuju kemari sangat sulit medan jalannya.

Tidak akan kecewa bila anda adalah pecinta pesona keindahan alam. Segera mencoba untuk menikmatinya...


Oleh : Damian Risandra

Kenali dan Cintai

Tari Serimpi Sangopati
Sekarang, segala sesuatu telah berkembang dengan cepat dan mudah. Sesuatu hal yang menjadi kebiasaan di masa lampau telah banyak ditinggalkan mungkin karena dianggap kuno. Padahal tanpa kita sadari, sesuatu yang telah kita tinggalkan tersebut adalah sesuatu yang sangat berharga di masa lampau dan justru dapat dijadikan sebagai sebuah kebanggaan saat ini. Semakin lama, justru semakin luntur dan mungkin mereka akan menghilang.

Sebuah tarian, sebuah warisan yang sedikit terkikis dengan adanya perkembangan yang begitu hebat. Yogyakarta mempunyai tarian yang berharga di masa lampau, tetapi sekarang tidak banyak generasi muda yang melestarikan budaya tari dan bahkan mengetahui tentang tarian yang ada. Salah satu jenis tarian yang ada di Yogyakarta adalah tari Serimpi. Tarian ini diiringi oleh gamelan Jawa dengan gerakan tangan yang lambat dan gemulai. Menilik dari namanya, Serimpi bersinonimkan bilang empat. Oleh karena itu, tari Serimpi kebanyakan ditarikan oleh penari dengan jumlah empat orang. Yang melambangkan empat penjuru mata angi atau unsur dari dunia. Yakni grama (api), angin (udara), toya (air), dan bumi (tanah). Seiring berjalannya waktu, tari Serimpi juga terbagi menjadi beberapa jenis, salah satunya tari Serimpi Sangopati.

Tarian Serimpi Sangopati ini, sebenarnya merupakan tarian karya Pakubuwono IV yang memerintah Kraton Surakarta Hadiningrat pada tahun 1788-1820 dengan nama Serimpi sangapati, kata sangapati itu sendiri berasal dari kata “sang apati” sebuah sebutan bagi calon pengganti raja. Ketika Pakubuwono IX memerintah kraton Surakarta Hadiningrat pada tahun 1861-1893, beliau berkenaan merubah nama Sangapati menjadi Sangopati.

Ketika itu, sesungguhnya sajian tarian Serimpi tersebut tidak hanya dijadikan sebagai sebuah hiburan semata, akan tetapi sesungguhnya sajian tersebut dimaksudkan sebagai bekal bagi kematian Belanda, karena kata sangopati itu berarti bekal untuk mati. Hal ini dilakukan berkaitan dengan suatu peristiwa yang terjadi di masa pemerintahan beliau yaitu pemerintah Kolonial Belanda memaksa kepada Pakubuwono IX agar mau menyerahkan tanah pesisir pulau Jawa kepada Belanda. Disaat pertemuan perundingan masalah tersebut Pakubuwono IX menjamu para tamu Belanda dengan pertunjukan tarian Serimpi Sangopati. Oleh sebab itu pistol-pistol yang dipakai untuk menari sesungguhnya diisi dengan peluru yang sebenarnya. Ini dimaksudkan apabila kegagalan, maka para penaripun telah siap mengorbankan jiwanya. Maka ini tampak jelas dalam pemakaian “sampir” warna putih yang berarti kesucian dan ketulusan.Pakubuwono IX yang terkenal sebagai raja pemberani dalam menentang pemerintahan Kolonial Belanda sebagai penguasa wilayah Indonesia ketika itu.


Oleh : S. Yogi Pradityo